Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the photo-gallery domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u1367411/public_html/senirupabali.com/wp-includes/functions.php on line 6121
I Made Rasna Pelukis Tradisional Bali – Seni Rupa Bali

I Made Rasna Pelukis Tradisional Bali

I Made Rasna Pelukis Tradisional Taman Kaja, Ubud, Bali.

Di tangan kiri adonan cat akrilik ia tampung dalam kepingan mangkok yang tinggal separuh. Mungkin dulunya utuh, tapi pernah jatuh, pecah, dan sisa setengah. Tak dibuang. Tetap dia gunakan sebagai palet.

Sesekali sebilah kecil kuas bambu, dibuat runcing pada ujungnya, ia cocolkan ke sana, sedikit saja. Lantas tangan kanannya bergerak menyapu lembut bidang kanvas yang telah dipenuhi guratan garis-garis sketsa. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Tak ada kesan tergesa, bahkan lebih pas menyebutnya syahdu. Sesekali dengan punggung telapak tangan ia membetulkan letak kacamata yang agak melorot.

“Ini tahap ke-6 dari 13 tahap yang akan dilalui sampai lukisan selesai dikerjakan”, tuturnya sambil terus melukis di studio yang berada pada salah satu bangunan di areal pekarangan rumah berpintu angkul-angkul itu.

Seni lukis tradisional, mungkin lebih pas disbut “lukis tradisi”, gaya Ubud, Gianyar memang tak sekadar butuh kemampuan teknis, tapi juga ketekunan dan kesabaran luar biasa. Pada kanvas hampir tak ada ruang tersisa, seluruh bidang lukis akan disesaki figur dan ornamen yang rapat juga detail.

Butuh waktu yang terhitung cukup lama untuk membuat satu karya lukis. Apalagi kalau ukuran kanvas semakin besar, semakin lama waktu yang dibutuhkan.

Sore itu cuaca lumayan cerah, hanya awan tipis yang menaungi kawasan Ubud. Biasanya hari-hari di Oktober ini langit lebih sering digelayuti awan gelap dan hujan yang mengguyur hampir sepanjang hari.

“Rata-rata dalam setahun saya bisa membuat tiga atau empat karya lukis saja”, ujarnya sedikit tergelak.

Ya, mungkin ia menyadari pilihan style lukisan tradisi punya konsekwensi seperti ini. Sementara pelukis dengan gaya modern, kontemporer, bahkan bisa berpuluh kali lipat produktifitasnya.

I Made Rasna, pelukis tradisi yang menekuni gaya Taman Kaja, sudah sejak sangat muda menyukai kegiatan ini. Tahun 1970an adalah era melukis sebagai kegiatan yang dilakukan hampir di setiap rumah di Banjar Taman Kaja, di Kecamatan Ubud ini.

“Sejak kelas 1 SMP saya suka sekali melihat orang melukis. Main ke rumah teman, ke saudara, ke tetangga, semua pasti di rumahnya ada lukisan atau orang yang sedang melukis.”

I Made Rasna kecil seringkali hanya duduk di belakang pelukis menikmati dan mempelajari bagaimana para maestro itu berkarya. Ia dibuai keheningan dan liukan pensil, sapuan kuas yang perlahan membangun rupa dan meresap di kalbunya.

Saat itulah anak bungsu dari 6 bersaudara ini berketetapan hati untuk kelak menjadi pelukis. Lingkungan Taman Kaja yang diberkahi tebaran seniman lukis bertalenta ini seperti hembusan energi yang tak pernah padam. Meski di rumah tak ada yang berprofesi sebagai pelukis, tapi dua kakaknya lebih dulu belajar melukis. I Made Rasna semakin giat belajar.

“Saya sudah ditinggal bapak sejak usia 3 bulan”, kenangnya.

Tidak pernah bisa mengingat bagaimana wajah sang ayah, karena pun saat itu belum ada foto. Yang pasti sang bapak juga bukan pelukis, tapi seorang pemangku yang lebih sering berurusan dengan peribadatan di pura.

Ibunya, yang juga seorang pemangku, sepeninggal suaminya memilih mengundurkan diri demi memastikan keenam anaknya memperoleh pengasuhan yang baik. Sebagai orangtua tunggal sang ibu memutuskan menggarap lahan 38 are yang mereka miliki demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Figur ibu yang begitu gigih dan bekerja keras demi keluarga membentuk mental I Made Rasna menjadi sosok yang selalu ingin mandiri.

Saat kelas 2 SD ia sudah mesti mengantri di depan toko juragan es setiap pagi pukul 7.30 karena toko baru buka pukul 8.00. Setelah itu ia mesti bergegas membawa esnya ke rumah saudara tak jauh dari situ untuk diambil kakak perempuannya yang akan berkeliling berjualan es. Sementara I Made Rasna tak mau telat masuk sekolah. Ia mesti berlari menuju SDN 3 Ubud (sekarang SDN 1 Ubud), yang jaraknya hampir 1 kilometer.

“Saya berlari ke sekolah setiap pagi, selama setahun”, tuturnya mengenang masa kecil yang tidak mudah.

Sungguh daya juang seorang bocah yang istimewa. Toko es kala itu terletak persis di depan Kantor Kecamatan Ubud, sementara sekolahnya ada di dekat lapangan Ubud. Ia mesti berlari cepat menelusuri Jalan Karna dan berbelok ke kanan mengikuti Jalan Dewi Shita.

Belum berhenti sampai di situ. Jika sepulang sekolah es masih tersisa, gantian I Made Rasna yang melanjutkan berkeliling menjajakannya. Tapi ia melakukannya dengan hati gembira. Karena ada kepuasan dan kebahagiaan ketika ia bisa merasakan letih yang setiap hari ia saksikan pada ibu tercinta.

Melukis kian menjadi bagian dari keseharian I Made Rasna. Selepas SMP ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Denpasar. Saat itu sekitar tahun 1979. Ia membayar iuran SPP (Sumbangan Pembinaan dan Pendidikan) sekolah dengan menjual karya lukisnya. Meski sang kakak sudah memberinya uang, tapi I Made Rasna lebih senang memperoleh uang dari karya lukisnya untuk membayar sekolah.

“Malamnya saya siapkan, pagi saya bawa lukisan yang sudah dipigura ke art shop seberang Puri Saraswati, Nyoman Ada Gallery nama art shopnya”.

Di sana lukisannya dihargai lumayan, bisa buat membayar SPP, bahkan masih ada lebih untuk beli jajan.

Setahun sekolah di Denpasar ia berpindah ke Sekolah Menengah Seni Rupa di Campuhan, Ubud (kini menjadi SMK SMR, Ratna Wartha Ubud). Karena pada tahun ke dua ia sudah mulai belajar sesuai minatnya; gaya lukis tradisional Bali.

Setiap kali tugas melukis dari sekolah selesai dikerjakan, ia berbisik ke pak guru pengajar, meminta lukisannya dikembalikan usai dinilai.

“Karya lukis tugas sekolah saya jual di art shop. Meski sudah ada tanda tangan guru di atas lukisan, tapi art shop masih mau nerima”, kenangnya sambil terkekeh. Ia tak pernah melukis seadanya, tapi selalu sepenuh hati. Tak heran art shop menyukai karya lukis remaja dari Taman Kaja ini.

Yang beli sudah pasti para turis asing yang memang datang ke Ubud karena pesona budaya dan seninya. Siapa gerangan turis beruntung yang memperoleh karya otentik pelukis ternama Ubud saat masih belia?

I Made Rasna sangat menaruh hormat pada para guru pengajarnya. Setidaknya ia tak bisa melupakan jasa I Ketut Budiana, I Gusti Nyoman Sudara, Ida Bagus Jembawan, Nyoman Sudana, mereka adalah pelukis-pelukis top yang memberikan bimbingan luar biasa bagi para siswanya, termasuk I Made Rasna.

Lulus SMSR I Made Rasna menjadi pelukis sepenuhnya. Setiap hari ia nyaris tak pernah lepas dari kanvas. Ia jeda melukis hanya ketika kewajiban ikut “ngayah” atau gotong royong untuk desa dan pura.

Pernah ada masa hampir setiap hari wisatawan penggemar lukisan mengunjungi studio lukis di rumahnya. Sedikitnya 10 orang setiap hari pasti saja ada yang datang melihat. Apresiasi pada seni lukis tradisional sungguh menggembirakan.

Namun, di pertengahan hingga akhir era 1990an, terutama sejak krisis moneter 1998, satu persatu pelukis tradisi beralih profesi lain. Rupanya perkembangan pariwisata tak melulu berdampak positif pada seni lukis tradisional.

“Tamu yang datang sekarang beda. Dulu banyak tamu eropa yang sangat suka lukisan tradisional, tapi sekarang kebanyakan turis muda, dan sepertinya tidak tertarik dengan lukisan tradisional”, ujarnya.

Banyak pelukis memilih bekerja di hotel, jual paket wisata, atau menggeluti usaha transportasi. Karena kebutuhan hidup lebih terjamin dengan bekerja di sektor pariwisata daripada bertahan sebagai pelukis tradisi.

“Saya cinta melukis. Saya ingin menjaga seni lukis tradisional, terutama style Taman Kaja, agar tidak punah. Selagi bisa, selagi kuat, saya akan terus melukis”, ucapnya dengan suara terdengar agak serak, tercekat. Karena ini memang bukan perkara mudah.

Gairah dan kecintaan I Made Rasna pada budaya dan seni tradisional Bali sangat jelas terpancar di setiap karya lukisnya. Tema-tema lukisannya menampilkan keseharian masyarakat Bali yang kental dengan budaya yang kuat. Tak hanya itu, kesan pertama saat mengamati karya lukis I Made Rasna, saya seperti menyaksikan gejolak dan semangat yang tergambar kuat, begitu hidup pada figur-figur dalam lukisannya yang dinamis.

Di usianya yang menginjak 60an tahun, I Made Rasna setiap hari bisa dijumpai di studio lukisnya di Jalan Sriwedari, Ubud. Sebelum pandemi beberapa kolektor dan penyuka seni lukis masih cukup kerap datang berkunjung untuk sekadar melihat-lihat atau membeli lukisannya. Namun sejak pandemi sudah sangat jarang.

Sebelum pandemi cukup sering ia ikut pameran yang diselengarakan banyak pihak. Sayang segepok dokumentasi satu-satunya yang dipinjam seseorang yang mengaku dari Jakarta tak pernah dikembalikan.

“Seluruh foto-foto lukisan saya dan saat saya pameran dibawanya. Ngakunya mau difotocopy. Tapi tidak pernah dikembalikan,” ujarnya getir. Karena orang itu tak meninggalkan nomer telepon yang bisa dihubungi.

Pandemi memang merontokkan nyaris segalanya. Masa yang sangat berat dijalani kebanyakan orang. Begitu juga nasib para pelukis di Bali, tak terkecuali I Made Rasna.

“Alam seperti kembali mengingatkan kita dengan caranya, ada yang mesti dibersihkan dari umat manusia”, ujarnya sembari menunjukkan salah satu karya lukis yang ia buat saat pandemi sedang ganas-ganasnya; Mecaru.

Ia kembali mencocolkan kuas buluh bambu ke palet kepingan mangkok pecah dan melanjutkan melukis di kanvas. Mangkok itu tinggal separuh, tapi tekadnya untuk terus melukis tetap teguh. Karena melukis menjaga jiwanya tetap utuh.

Taman Kaja, Gianyar, Ubud, 28 Oktober 2022

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.