Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the photo-gallery domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u1367411/public_html/senirupabali.com/wp-includes/functions.php on line 6121
Ngurah KK dan Matahari Merahnya – Seni Rupa Bali

Ngurah KK dan Matahari Merahnya

Ngurah KK pelukis gaya Young Artist Panestanan, Ubud, Bali.

Ngurah KK malam itu lumayan teler. Minuman sialan yang tadi dicobanya ia sumpahi sepanjang jalan. Tengah malam hujan mengguyur deras kawasan Ubud. Kilatan petir dan gelegar geluduk kerap datang nyaris serempak, menandakan sumber lompatan listrik bergigawatt itu tak jauh dari tempatnya terhuyung. Meski kepala pusing ia terus menembus lebatnya hujan.

Michele, orang Perancis teman Ngurah KK yang tinggal di penginapan milik pak Adur, persis di seberang Hotel Tjampuhan. Bule Perancis itu sekadar mengajaknya menikmati malam natal penuh sukacita. Ya, salah satu cara merayakan kegembiraan ala orang Eropa; aneka minuman beralkohol entah itu brandy, vodka, atau apa-apa lainnya yang tak ia pahami, menjadi sajian malam itu.

Ngurah KK sepertinya terbawa suasana, larut dalam kegembiraan bersama kawan-kawan baiknya ini. Ia cobai aneka minuman yang disodorkan kepadanya, demi menghormati tuan rumah. Sesungguhnya ia bukan orang yang terlalu suka mencoba hal baru. Tapi, Ngurah KK selalu tergerak untuk sebisa mungkin tidak menimbulkan rasa kecewa pada orang lain.

Selama ini minuman beralkohol yang ia tenggak hanya bir, yang kadarnya tak lebih dari lima persen. Arak Bali saja hampir tidak pernah. Itu pun ia bisa takar seberapa banyak agar tak membuatnya kelimpungan.

“Itu pertama kalinya saya mabuk berat,” tuturnya mengenang peristiwa yang kelak tergores tebal dalam corak lukisannya.

Gegap gempita pesta natal itu belum usai. Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 12 malam dan ia memutuskan pamit pulang. Ia merasakan tubuh sudah tak sanggup lagi menerima gelontoran aneka minuman yang membuat kepala pening.

Kala itu, menjelang akhir 1976, jalan di sekitar Campuhan, Ubud, masih gelap saat petang, tanpa lampu penerangan. Jalan tanah berbatu besar-besar seolah membelah dataran menanjak yang belum berlapis aspal. Belum banyak pepohonan yang tumbuh di sisi jalan. Bahkan hanya rumput dan ilalang yang berjubelan di sela-sela bebatuan itu.

Guyuran hujan membuat jalanan dialiri air deras bercampur lumpur kecoklatan dari arah utara.

“Saya berjalan pulang seperti berenang, mesti merangkak dan berkali-kali terpeleset jatuh di jalanan berlumpur. Mati aku!” serunya mengenang situasi konyol yang dia alami.

Jarak menuju rumah berasa sangat jauh dan menyebalkan. Posisi rumahnya berada di dataran yang lebih tinggi dari tempatnya didera minuman memabukan itu.

Untungnya, ia tak mesti menyeberangi Jembatan Campuhan yang di bawahnya mengalir deras pertemuan dua arus sungai yakni Tukad Wos dan Tukad Cerik. Titik pertemuan yang memikat Resi Markandriya beratus tahun yang lampau, untuk mendirikan Pura Gunung Lebah, dan menjadi awal berkembangnya peradaban hindu di kawasan itu.

Suasana tenang dan damai itu laksana obat, yang dalam bahasa Bali disebut ubad, untuk jiwa yang letih. Ubad yang kemudian lebih sering disebut Ubud.

Tapi malam itu Ngurah KK tak merasa damai. Ia sempoyongan di jalan yang gelap. Sesekali kilatan petir menerangi jalur yang ia lalui meski hanya sekejap. Alkohol membuyarkan ubad bagi kedamaian hatinya. Sudah terbayang wajah ibu di rumah kalau melihatnya berantakan seperti ini.

Ia mesti mendaki jalan meliuk yang mengarah ke Panestanan. Desa itu kelak menjadi sentra berkembangnya lukisan tradisional kaya warna yang dikenal sebagai “Young Artist” style.

Di situasi normal jaraknya tak terlampau jauh. Tapi saat kepala pening dan perasaan gundah diguyur hujan, tentu saja beda rasanya. Apalagi ia tahu betul di sela-sela ilalang dan rerumputan yang mengisi tiap celah bebatuan, anjing-anjing biasa buang kotoran di sana. Tentu air hujan sudah mengaduk-aduk semua itu dan sungguh sial ia berkali-kali terhempas ke sana.

Sandal jepitnya terlepas, hilang mungkin hanyut dibawa arus deras parit curam di sisi kiri Jalan Campuhan. Setelah entah berapa kali terpeleset dan terjerembab, sampai juga ia di rumah. Ia mengetuk pintu dengan lunglai. Basah kuyup dan belepotan lumpur membaluri seluruh badannya.

“Ibu kaget lihat saya di depan pintu. Ia sontak melarang masuk, dan menyuruh saya tidur di luar malam itu,” ujarnya terkekeh sambil memeragakan bagaimana sang ibu dengan jari menuding ke luar dan ekspresi muka yang kesal.

I Gusti Ngurah KK menurut saja. Udara dingin malam itu tak lagi ia pedulikan. Ia terlelap karena letih bergulat sepanjang jalan dengan alkohol yang bersekongkol dengan hujan.

Malam berlalu tanpa bunyi. Bahkan nyanyian para kodok pengiring hujan pun tak terdengar.

Keesokan pagi seberkas cahaya mentari meluncur dari angkasa, menembus kabut tipis yang mengisi celah-celah dedaunan, membias sempurna, menyapu kelopak mata yang masih sangat berat untuk membuka. Ia terbangun karena silau oleh terpaan sinar hangat yang berhasil memaksanya membuka mata.

Sebuah bulatan besar merah kejinggaan dan semburat warna nan megah membuatnya terperangah. Nampak begitu anggun berdampingan dengan sosok Gunung Agung yang gagah di arah timur laut. Ia sudah 29 tahun menikmati hidup di bawah matahari, tapi bulatan merah mentari pagi itu seperti baru pertama kalinya ia sadari.

“Saya langsung ambil kanvas, mengaduk campuran cat hingga dapat warna merahnya. Saya melukis, mengabadikan warna merah yang bagus itu. Saya suka sekali. Sampai sekarang warna itu menjadi corak yang banyak mewarnai lukisan saya”, ujarnya.

Efek mabuk semalam rupanya membuat mata lebih jernih menyaring cahaya. Atau mungkin juga alkohol membuatnya lebih tajam menangkap keindahan matahari, Ngurah KK tak tahu juga. Yang pasti ia tak sudi merasakan mabuk minuman separah malam itu.

I Gusti Agung Ngurah Kresna Kepakisan, memakai nama singkat Ngurah KK di signature lukisannya, adalah salah satu pelukis senior di Ubud, Bali. Karya lukisnya sudah banyak dikoleksi museum-museum besar di dalam negeri maupun luar negeri.

Sudah berpuluh kali lukisannya dipamerkan baik dalam eksibisi bersama pelukis lain maupun pameran tunggal. Swiss, Jepang, Belanda, Jerman adalah negara-negara yang pernah mengundang untuk menyelenggarakan pameran tunggal karya Ngurah KK.

Gaya lukisannya cenderung dimasukkan dalam kelompok “Young Artist” style. Karena memang didominasi pola dekoratif dan garis-garis tegas dengan paduan warna cerah dan gembira. Juga tampilan karakter yang terkesan polos ala anak-anak yang masih naif melukiskan apa yang dilihat. Tapi jangan salah, lukisan Ngurah KK selalu sarat dengan pesan mendalam yang jauh dari kata polos dan naif.

Ngurah KK adalah murid ke dua Arie Smit, pelukis kelahiran Belanda yang memberi pengaruh kuat pada perkembangan dan kemajuan seni lukis Bali. Ngurah KK sendiri didapuk sebagai Ketua Paguyuban Seniman Young Artist di Panestanan, Ubud.

Perjumpaannya dengan Arie Smit terjadi tak sengaja. Ia yang sedang menemani ibunda ke sawah berpapasan dengan lelaki Belanda itu. Arie Smit meminta ijin kepada sang ibu untuk mengajak Ngurah KK belajar melukis di tempatnya. Sebuah perjumpaan yang mengubah jalan hidup Ngurah KK dari calon petani, sebagaimana 9 kakaknya, menjadi seorang pelukis.

Ngurah KK tak pernah bisa melupakan jasa Arie Smit. Setiap kali ia bersembahyang, menyajikan banten pesembahan, tak lupa ia menyapa Arie Smit yang fotonya tergantung di sudut dinding di atas meja studionya.

“Saya selalu menyapa Pak Arie, seperti dia ada di dekat saya. Karena tidak mungkin saya bisa melupakan pertolongan dia,” ujarnya. Ia selalu mendoakan Arie Smit dalam keadaan yang terbaik di tempatnya sekarang.

Ngurah KK termasuk pelukis yang rajin mengikuti pameran. Bahkan, banyak yang terlupa karena memang ia sangat jarang mencatat. Pameran tunggal maupun bersama yang masih bisa diingatnya antara lain:

1970 Pameran Tunggal di Roma, Italia

1972 Pameran Tunggal di Belanda

1973 Pameran Tunggal di Stuttgart, Jerman

1976 Pameran Bersama di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia

1980 Pameran Bersama Asosiasi Seniman Ratna Wartha, Ubud, Bali, Indonesia

1986 Pameran Tunggal di Tokyo, Jepang

1987 Pameran Tunggal di Nusa Dua Beach Hotel, Nusa Dua, Bali, Indonesia

1990-2001 Pameran Pribadi di Ngurah Studio, Campuhan, Ubud, Bali, Indonesia

2015 Pameran Tunggal di Amerika Serikat

2018 Pemeran Bersama Asosiasi Seniman Ratna Wartha, di Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali, Indonesia

2019 Pemeran Bersama Asosiasi Seniman Ratna Wartha, di Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali, Indonesia

Lebih lengkap daftar pameran Ngurah KK ada di sini.

Dalam seluruh pameran yang menyertakan lukisan-lukisannya, hampir selalu ada matahari merah merona menggoda mata. Ngurah KK dan matahari merahnya selalu seiring menjadi terang yang membawa suasana gembira.

Yang mungkin ia lupa, Arie Smit semasa aktif melukis, giat memburu cahaya yang punya berjuta warna. Sepertinya sudah menjadi guratan takdir, setangkup hasil buruannya, sinar merah jingga sang mentari, dia titip kepada murid yang sangat dia sayang, Ngurah KK.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.