Melukis tradisional Bali bukan tujuan menjadi profesi utamanya. Tapi dengan melukis dia bisa menjual hasil karyanya untuk biaya sekolah mengejar gejolak rasa ingin tahu untuk lebih mendalami ilmu pengetahuan alam. I Wayan Surana membuka ceritanya pagi itu di ujung bukit jalan Bangkiang Sidem, Tegallalang, Gianyar, Bali.
I Wayan Surana melakukan dengan gembira meski mengawali belajar melukis tradisional Bali karena didorong sang kakak ketika masih sangat belia, karena kebanyakan anak-anak di banjarnya memang belajar melukis. Sang kakak tak ingin adiknya tidak mengikuti perkembangan kegiatan yang sedang ngetren saat itu.
Kala itu seni lukis bercorak Keliki Kawan yang digagas pelukis I Ketut Sana sedang sangat digemari kolektor. Coraknya yang detail dengan tema cerita pewayangan dan keseharian masyarakat Bali dilukis di kertas ukuran kecil, sangat praktis menjadi suvenir wisatawan.
Kemampuan I Wayan Surana menangkap pelajaran dari mentor yang tak lain adalah pelestari seni lukis corak Keliki Kawan, I Made Astawa, membuatnya bahkan sudah bisa menjual hasil karya lukisnya ke art shop di desa Batuan, Gianyar.
“Dari hasil jualan lukisan saya belikan ibu babi untuk diternak,” tuturnya mengenang.
Dalam benaknya ia ingin berkontribusi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Pemikiran yang terlalu dewasa untuk anak seusianya yang baru menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Saya suka sekali belajar ilmu pengetahuan alam. Saya ingin terus belajar, sekolah, tapi kan mesti punya biaya,” ujarnya mengingat masa-masa ia mengawali keseriusannya menjadi pelukis.
“Saya pikir, dengan melukis dan menjual hasil karya saya, saya bisa dapat uang untuk melanjutkan sekolah,” kenangnya.
Karena kegigihannya ini, hampir tiada hari tanpa melukis, ia mampu menabung dari hasil melukis untuk biaya sekolahnya.
Selepas Sekolah Mengah Atas (SMA) ia memilih melanjutkan ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) mengambil jurusan Science.
Persis di 1997 I Wayan Surana diangkat menjadi guru tetap di SMPN Sukawati, Gianyar, Bali. Hingga saat ini ia menjadi guru pengajar mata pelajaran fisika.
“Kalau saya hanya mengharapkan hasil dari melukis saya mungkin tidak bisa bertahan,” ujarnya.
Ia bersyukur saat pandemi covid 19 kala itu ia masih punya sumber penghasilan tetap dari mengajar. Sulit membayangkan jika hanya mengandalkan dari hasil melukis di saat ekonomi global sedang pingsan.
Memang pada awalnya belajar melukis, punya kemampuan melukis, buat I Wayan Surana bukan menjadi tujuan utamanya menjadi pelukis. Ia menjual karyanya untuk biaya mencapai cita-citanya yang sudah diincarnya dari usia sangat belia. Tapi pilihan itu justru membuatnya lebih bisa fokus ketika melukis. Ia tak terlalu memusingkan apakah lukisanya akan dibeli kolektor atau tidak. Ia fokus berkarya ketika usai mengajar di sekolah.
Karya lukis I Wayan Surana bercorak Keliki Kawan. Sudah banyak kolektor dan galeri seni yang mengoleksi karyanya. Banyak pameran lukisan yang menyertakan karya I Wayan Surana, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Karena tak mau meninggalkan tugas utamanya mengajar para siswanya di SMPN Sukawati, sekali waktu ia minta diwakili sang istri untuk menyertai karyanya yang dipamerkan di Paris, Perancis.
I Wayan Surana saat ini memiliki tiga orang puteri yang ketiganya tak pernah ia sarankan memilih melukis sebagai profesi. Tapi, menurutnya, mereka punya kemampuan melukis yang juga baik.
“Saya sadar, tidak banyak orang benar-benar bisa survive dari melukis saja. Karena itu realistis saja, saya tak menyarankan mereka memilih profesi pelukis. Anak saya semuanya bisa melukis,” ujarnya.
Anak pertama berprofesi sebagai dokter. Anak kedua bekerja di bank milik pemerintah. Anak yang ketiga masih kuliah dan aktif di bidang fashion dan menjadi anchor TVRI Bali.
Pelukis tradisional Bali memang menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi ingin menjaga tradisi seni yang punya corak istimewa dari Bali, tapi di sisi lain, karena proses menghasilkan karya bercorak tradisional ini butuh waktu yang sangat lama, kebutuhan hidup sehari-hari tak bisa menunggu.
I Wayan Surana punya strategi untuk berkompromi dengan situasi dilematis ini. Tapi, tak banyak yang mampu menjalani dua profesi sekaligus secara maksimal. Karena itu negara mesti hadir memberikan solusi bagi kelestarian budaya sebagai asset bangsa.